Pages

Minggu, 20 Februari 2011

Nikah Siri

Hukum Islam Tentang Nikah Siri

Posted by Farid Ma'ruf pada Maret 13, 2009

Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.
Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara.[Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009]
Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.
Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan?
Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali;atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatansipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut;pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt.Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis.Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya.Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolakkesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang.Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy).
Sumber : HTI Press

Read More......

10 Buhul Cinta

10 Buhul Cinta

6 Buhul CintaSaat suami istri memulai kehidupan berumah tangga, bahkan beberapa saat sebelum perjanjian kuat ikatan pernikahan diikatkan, mereka telah mulai membayangkan indahnya cinta. Bayangan syahdunya cinta itu akan terus menyertai setiap langkah dan kedekatan mereka. Namun apakah artinya sebuah bayangan cinta bagi sepasang suami istri bila tak kunjung menjadi kenyataan?
Anda sebagai suami dan Anda sebagai istri tentunya mendambakan cinta. Agar cinta tak berupa bayangan dan angan-angan semata, agar indah dan teduhnya cinta menjadi kenyataan, agar kepak sayap-sayap cinta semakin kuat membawa Anda terbang, agar cinta itu sendiri terus tumbuh dan berkembang, ada sepuluh buhul cinta yang hendaknya diperhatikan.
1. Katakan cinta saat Anda butuh cinta
Rasa enggan mengungkapkan cinta bisa menjadi masalah mendasar tandusnya kehidupan berumah tangga. Padahal kita semua tahu bahwa semua kita butuh ungkapan cinta.
Sebagai suami, terkadang tidak memahami bahwa istrinya membawa sifat terpuji, malu. Di saat yang sama ia sangat senang dengan belaian lembut sebuah kata cinta dari suaminya. Namun, berapa banyak suami yang telah memberikan kata cinta sebagai hal yang menyenangkan istrinya? Padahal dengan satu kata cinta para istri akan semakin tahu kedudukannya di hati suaminya, bahkan ia akan berusaha dengan kesungguhannya untuk mempertahankan kedudukannya tersebut sebagai imbalan kata cinta. Sehingga suami yang pintar ialah yang dapat melambungkan istrinya dengan kata-kata cinta.
2. Ungkapkan cinta tak hanya dengan kata-kata
Cinta tak mengenal jarak, cinta tak mengenal waktu. Teleponlah istrimu di saat engkau berjauhan, dan katakan sebuah kata cinta kepadanya. Pinanglah ia untuk kedua kalinya. Ingatkan ia dengan pandangan pertama kalian berdua di saat dulu kau meminangnya.
Kelembutan ungkapan cinta Anda tentu akan membuatnya dapat merasakan kekuatanmu, sedangkan kelembutan tingkah Anda akan membuat Anda terlihat sebagai seorang yang terkuat dalam pandangannya.
Seorang istri sedang sibuk buka tutup rak mungil di dapur. Suaminya yang melihatnya bertanya, “Apa yang sedang kau cari? Biarkan aku membantumu mencarinya.” Istrinya berkata, “Tidak, sudahlah, biar aku mendapatkannya sendiri.” Sesaat kemudian istri pun mendapati sesuatu yang dicarinya, lalu ia genggam erat sambil bergumam, “Alhamdulillah.” Suaminya mencoba ingin tahu, istri menyembunyikannya di balik tubuhnya dengan kedua tangannya, dan saat  suaminya cukup penasaran, sambil tersenyum ia lalu menunjukkannya dan berkata, “Ini hanya sebungkus STMJ instan kesukaanmu yang aku sangat senang menyeduhnya untukmu, suamiku.” Subhanalloh.
3. Berterima kasih dan pujilah ia
Yang tidak berterima kasih kepada sesama tentu tak berterima kasih pula kepada Dzat Yang Maha Kaya. Berterima kasihlah dan pujilah istri Anda dengan sejujur-jujurnya. Bukan pujian berlebihan, sebab kejujuran itu sangat sederhana. Pujilah istri Anda dengan wajah, mata dan kata-kata lembut Anda. Pujilah pakaian serta perhiasannya, parfumnya, kelembutannya serta rasa malunya. Pujilah pekerjaannya, kelelahannya, makanan dan minuman yang ia siapkan untuk Anda dan keluarga.
Pujilah ia di saat sendirian, pujilah ia di saat Anda bersama orang lain dan kabarkanlah kepadanya bahwa Anda telah memujinya di hadapan mereka.
Banyak suami yang hanya bisa menanamkan dogma kepada istrinya bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawabnya dan mematuhinya merupakan kewajibannya. Padahal, hal ini justru membuat istri bermalas-malasan dalam melakukan tanggung jawab dan kewajibannya. Dan suami yang pintar adalah yang pandai menghargai pekerjaan istrinya.
4. Ketahuilah apa yang ia suka
Mengetahui apa yang disuka oleh pasangan merupakan salah satu buhul cinta. Hal ini akan menunjang keharmonisan rumah tangga.
Tanyalah kepada istri atau suami Anda, apa yang dia suka. Apabila Anda telah mengetahuinya, simpan baik-baik dalam memori Anda. Di saat pasangan tidak sedang mengingat-ingatnya, Anda bisa meletakkan sesuatu yang disukainya di hadapannya. Apa yang Anda lakukan ini benar-benar akan menjadi pengganti atas ungkapan perhatian Anda kepada pasangan Anda.
Jangan lupa untuk mengetahui apa yang tidak disukainya. Lalu jangan biarkan sesuatu yang tak disukainya itu ada di dekatnya. Jauhkanlah semua yang tidak dia suka. Dengan begitu, Anda telah memberikan sesuatu yang menggembirakannya.
5. Sempatkan berlomba dengannya
Sesungguhnya Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam ketika usia beliau telah mencapai lima puluh tahun, beliau tetap menyempatkan menghibur istrinya dengan berlomba. Perlombaan yang merupakan canda dan hiburan hati serta penyegar pikiran. Ini dia Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam, suatu hari beliau berlomba adu kecepatan lari dengan istrinya, ‘Aisyah Rodhiallohuanha,[1] padahal beliau adalah manusia yang paling sibuk. Namun beliau tidak menjadikan kesibukan sebagai alasan untuk menelantarkan istri-istrinya.
Selain itu, manfaat perlombaan seperti ini akan menumbuhkan rasa percaya dari para istri tentang cinta suami kepada mereka. Maka hendaknya diketahui bahwa mengalah kepada istri atas sesuatu dari berbagai kesibukan adalah kata terbaik untuk mengungkapkan rasa cinta kepadanya. Dan Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam telah memberikan teladan dalam hal ini.
6. Sekuntum senyuman
Senyuman merupakan wujud dari berbagai ungkapan isi hati. Kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan, kedamaian, ketenangan dan berbagai keadaan lainnya. Sebaliknya, apatis, murung, cemberut dan semisalnya adalah bentuk ungkapan hati yang tak baik. Tentunya sangat banyak sebabnya.
Tatkala Anda datang kepada istri Anda dengan wajah diam, apatis, murung dan cemberut, berarti Anda telah memberi tugas istri Anda untuk berpikir tentang berbagai hal yang menjadi sebab keadaan Anda. Sehingga istri Anda tidak akan tenang sampai ia mengetahui sebab kemurungan Anda.
Terlebih lagi tatkala istri Anda tidak juga bisa mendapati sebab kemurungan Anda, artinya ia tidak akan pernah tahu siapa Anda saat ini sebenarnya. Sebabnya ialah Anda sendiri yang selalu murung di hadapan istri Anda, yang akhirnya hal sangat buruk yang telah menimpa Anda pun istri tidak mengetahuinya. Dengan demikian, ketika Anda hendak berkisah tentang kegelisahan serta permasalahan Anda, bisa jadi dan sangat mungkin ia tidak akan memperhatikan Anda sebagaimana yang Anda harapkan. Hal seperti ini akan menjadikan Anda marah, dunia menjadi gelap menurut Anda, lalu Anda mulai berkata, “Beginikah sikap seorang istri yang perhatian terhadap suaminya?” Padahal istri Anda tidak bersalah, sebab ia memang benar-benar tidak mengetahui kondisi hati Anda, kapan Anda bersedih dan kapan Anda senang, karena setiap Anda berjumpa dengan istri Anda, hanya wajah murung dan cemberut yang Anda nampakkan.
Maka tersenyumlah dengan keramahan Anda kepadanya, sehingga ia sempat tahu  keadaan Anda dan bisa membantu Anda.
7. Kreatif saat istri sakit
Sakit yang dimaksud di sini ialah saat istri haid, hamil, nifas maupun sakit yang lainnya.
Ketika sedang haid terkadang seorang wanita mengalami nyeri dan sakit berlebih yang dikeluhkannya. Bahkan saat wanita akan haid, sekitar sepekan sebelum haid, dan di saat ia sedang haid, ia mengalami goncangan-goncangan psikis, goncangan emosional dan kejiwaan yang cukup membuatnya tidak bisa mengontrol perbuatannya sendiri.
Demikian juga saat istri sedang hamil, bahwa kehamilan menyebabkan kelemahan dan susah payah.[2] Kehamilan menyebabkan ganggguan psikis yang tak kalah menyiksa. Terlebih lagi saat istri sedang melahirkan. Kebanyakan istri akan merasa ringan dari penderitaan kehamilan dan melahirkan ini apabila ia selalu didampingi oleh orang yang dapat menenangkan jiwanya, membantunya, menyenagkannya. Maka sudahkah suami memberikan suasana yang sesuai kepada istri di saat ia sedang mengandung dan melahirkan anaknya? Kalimat-kalimat cinta dan motivasi apa yang telah suami berikan untuk istrinya di saat-saat sulit seperti ini? Padahal saat ini istri benar-benar butuh ungkapan yang meringankan beban dan membesarkan semangat berjuang.
Jadi, di manakah suami harus memposisikan dirinya? Sesungguhnya istri Anda di saat-saat seperti ini hanya membutuhkan kesungguhan dan keihklasan Anda dalam memahami sisi kejiwaannya. Dengannya ia ingin mengetahui kadar cinta Anda dengan ungkapan rasa cinta dan kasih sayang Anda di saat seperti ini. Berlemah lembutkah Anda kepadanya? Perhatian Anda yang baik atas apa pun yang Anda harus lakukan saat istri sakit merupakan bekal utama melambungkan cinta. Tak sedikitpun Anda boleh menunjukkan sikap kasar. Tak membolehkan ada kekerasan dan keributan di hadapan istri Anda. Semua Anda hadapi dengan optimis dan penuh suka cita. Sebab duka suami saat istri sakit hanya akan membuat sitri beranggapan bahwa sakitnya hanya membuahkan kebingungan dan susahnya suami. Dan ini sama sekali tidak ada baiknya.
8. Khusus bagi para suami
Mengetahui perkembangan karakter istri seiring bertambahnya usia adalah sangat penting. Sebab setiap tangga usia istri Anda memiliki karakter tersendiri yang dengannya ungkapan cinta pun berbeda-beda.
Menurut para peneliti, wanita di suatu daerah pada usia dua puluhan memiliki karakter selalu ingin dimanja. Jiwanya masih labil dan cenderung kekanak-kanakan. Ia selalu ingin coba-coba hal-hal baru. Bahkan ia ingin mencoba-coba segala sesuatu. Ia gemar keluar jalan-jalan bersama suaminya, dan masih senang menjalin hubungan dengan banyak sahabatnya.
Sedangkan wanita pada usia tiga puluhan ia lebih stabil dan mulai berkurang sikap bersantai-santainya. Baginya yang terpenting adalah bagaimana ia mendapat ketenteraman, baik untuk dirinya, suami maupun anak-anaknya. Ia selalu ingin bisa mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya, bahkan ia akan berusaha semampunya untuk memberikan sesuatu yang terbaik untuk rumah tangga serta anak-anaknya. Waktu-waktunya bisa habis demi kebahagiaan rumah tangga dan anak-anak. Hal ini sesuai dengan karakternya yang telah memasuki usia penuh tanggung jawab. Sehingga ia memahami tanggung jawabnya sebagai seorang istri, seorang ibu rumah tangga dan sebagai ibu bagi anak-anaknya.
Berbeda lagi dengan wanita di usia empat puluhan. Selain ia telah menghabiskan waktu dan kemampuannya untuk kebahagiaan rumah tangga, ia mulai cenderung ingin membantu suami dalam setiap pekerjaannya. Seiring dengan maksud baiknya tersebut, ia merasa ingin selalu dekat dengan suaminya, sehingga ia selalu ingin untuk turut serta bersama suaminya keluar rumah. Hal ini menunjukkan bahwa keinginannya untuk keluar rumah bersama suaminya untuk berjalan-jalan muncul kembali.
Para suami yang memahami karakter istrinya di setiap tangga usianya akan tahu bahwa setiap tangga memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan cintanya. Maka hal ini perlu dipelajari, lalu direncanakan bagaimana ia bisa memenuhi keinginan-keinginan istrinya.
Pada usia dini pernikahan, kelemahlembutan dan memanjakan istri adalah buhul cintanya. Sedangkan di usia pertengahan, para suami wajib ekstra disiplin dan perhatian yang sungguh-sungguh sampai pada masalah atau hal-hal yang kecil sekalipun. Sebab istri saat ini dalam keseriusan melaksanakan tanggung jawabnya. Dukunglah ia meski dengan sesuatu yang Anda remehkan, sebab bisa jadi sesuatu yang Anda remehkan justru akan melejitkan cintanya.
Berbeda lagi di saat usia telah memasuki empat puluhan, maka perhatian dan kebersamaan Anda sangat ia butuhkan. Di saat ini kebersamaan Anda adalah buhul cinta Anda.
Namun demikian, di daerah tertentu dengan lingkungan yang berbeda pula, kemungkinan karakter seorang wanita akan berbeda lagi meski pada tangga yang sama. Di sinilah pentingnya Anda, para suami, memperhatikan usia dan karakter istri Anda, agar Anda tidak salah dalam mengungkapkan cinta Anda.
9. Siapkan kejutan cinta
Bila setiap hari Anda yang selalu mendapati seluruh sudut rumah bersih, rapi dan segar, maka siapkan bagaimana hari ini istri Anda-lah yang terharu, kaget dan gembira mendapatinya.
Bila setiap hari Anda yang selalu mendapati seluruh pakaian telah bersih, licin dan tertata rapi di lemari baju, maka siapkanlah bagaimana istri Anda hari ini yang mendapatinya.
Bila Anda seorang suami yang pintar memasak, masakan Anda buat keluarga di hari ini bisa menjadi kejutan cinta buat istri Anda.
Semua ini perlu direncanakan dengan sebaik-baiknya. Apabila memang Anda telah bisa melakukannya, maka setelah istri gembira, kaget dan terharu atas kejutan Anda, jangan lupa untuk membisikkan dengan perlahan di telinga istri Anda sebuah kalimat, “Akulah yang telah merencanakan dan melakukannya untukmu, karena aku mencintaimu.”
10. Jadilah pakaian untuknya
Fungsi pakaian ialah untuk menutupi. Maksud dari buhul cinta tersebut di akhir tulisan ini ialah, jadilah masing-masing Anda sebagai pakaian bagi yang lainnya, yang bisa menutupi apa yang tak disukai.
Di saat suami istri tidak bisa saling menutupi, maka mungkin sekali pihak ketiga akan masuk dan bisa saja merusak hubungan suami istri tersebut. Sebab di saat itu berarti mulai lemahlah hubungan perasaan antara keduanya.
Seorang istri atau pun suami tidak akan memaafkan apabila aibnya diketahui oleh orang lain sebab pasangannya yang membukanya. Namun tatkala pesan-pesan yang tersampaikan kepada istri atau kepada suami ialah pesan-pesan isyarat bukti cinta, bahwa Anda telah membela dan menutupi aibnya di hadapan orang lain, maka jadilah isyarat ini sebagai buhul cinta. Sebab sama saja artinya Anda telah mengatakan kepada istri atau suami Anda, “Aku mencintaimu, maka aku pun melindungimu.” Barokallohu fiikum.
_

[1] HR. Abu Dawud, kitab al-Jihad, no. 2214
[2] QS. Al-ahqoof [46]: 15 dan QS. Luqman [31]: 14

Read More......

Nasehat Perkawinan

NASIHAT PERKAWINAN
oleh
Yazid bin Abdul Qadir Jawas
KATA PENGANTAR
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua
sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalahpun, dalam kehidupan ini, yang
tidak dijelaskan. Dan tidak ada satupun masalah yang tidak disentuh nilai
Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam,
agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam.
Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai
bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga
bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati.
Islam menuntunnya. Begitupula Islam mengajarkan bagaimana
mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap
mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah
shallallhu 'alaihi wa sallam, begitupula dengan pernikahan yang sederhana
namun tetap penuh dengan pesona. Islam mengajarkannya.
Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa'at dan paling afdhal dalam
upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah
inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh
sebab itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong untuk
mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas
kendala-kendalanya.
Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis
dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari
persilangan syar'i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan
keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi
semakin semarak.
Melalui risalah singkat ini. Anda diajak untuk bisa mempelajari dan
menyelami tata cara perkawinan Islam yang begitu agung nan penuh
nuansa. Anda akan diajak untuk meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu
yang penuh dengan upacara-upacara dan adat istiadat yang
berkepanjangan dan melelahkan.
Mestikah kita bergelimang dengan kesombongan dan kedurhakaan hanya
lantaran sebuah pernikahan ..? Na'udzu billahi min dzalik.
Wallahu musta'an.
MUQADIMAH
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu
menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut
tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh
suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena
lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan
nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.
Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya
Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan
kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adamlah
yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Ilahi sebagai
khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat :
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : "Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui". (Al-Baqarah : 30).
Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan
penting dan besar. 'Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu
perjanjian yang kokoh dan suci (MITSAAQON GHOLIIDHOO), sebagaiman
firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan
mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat".
(An-Nisaa' : 21).
Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khusunya
suami istri, memelihara dan menjaganya secara sunguh-sungguh dan
penuh tanggung jawab.
Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap
persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan
yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak,
serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga,
sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam
secara rinci dan detail.
Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka
rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah
Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen), dengan
rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan
maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang
terjadi di masyarakat kita.
Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini,
hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah
Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan
Penyimpangan Dalam Perkawinan.
PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta'ala
cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyuruh
manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar idak terjadi
penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas
fitrahnya.
Perkawinan adalah fithrah kemanusiaan, maka dari itu Islam
menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah
(naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang
sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang
banyak menjerumuskan ke lembah hitam. Firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) ;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus ;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (Ar-Ruum : 30).
A. Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an
dan As-Sunnah sebagi satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan
naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga
yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali,
sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama.
Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Telah bersabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari
agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara
yang separuhnya lagi". (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).
B. Islam Tidak Menyukai Membujang
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah
dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik
radliyallahu 'anhu berkata : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan
larangan yang keras". Dan beliau bersabda :
"Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena
aku akan berbanggga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi
kelak di hari kiamat". (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu
Hibban).
Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian
setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan
mereka. Salah seorang berkata : Adapun saya, akan puasa sepanjang masa
tanpa putus. Dan yang lain berkata : Adapun saya akan menjauhi wanita,
saya tidak akan kawin selamanya .... Ketika hal itu di dengar oleh Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :
"Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi
Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian.
Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur
dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak
menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golongannku". (Hadits
Riwayat Bukhari dan Muslim).
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan
dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain
Muhammad Yusuf : "Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang
kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu
kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada
umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri
serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab".
Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri.
Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga
kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada
dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat
diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama
kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu
kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.
Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka
mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup
ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagian
hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin
mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.
Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan
dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah
dan kodrat Allah Ta'ala yang telah ditetapkan bagi mahluknya. Sikap
enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang
jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia
berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang
diakaruniakan Allah, misalnya ia berkata : "Bila saya hidup sendiri gaji saya
cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!".
Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan
ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah
akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan
suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya :
"Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lakilaki
dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui". (An-Nur : 32).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan
sabdanya :
"Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka,
yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya
supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara
kehormatannya". (Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu
Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah
radliyallahu 'anhu).
Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti
membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.
Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu pernah berkata : "Jika umurku tinggal
sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus
menemui Allah sebagai seorang bujangan". (Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul
'Arus hal. 20).
TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu [bagian kedua] kami sebutkan bahwa perkawinan
adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan
ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan
cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini
dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain
sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur.
Sasaran utama dari disyari'atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya
ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji,
yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur.
Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana
efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan
melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda :
"Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian
berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih
menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena
shaum itu dapat membentengi dirinya". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad,
Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami.
Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq
(perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batasbatas
Allah, sebagaimana firman Allah dalan ayat berikut :
"Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang bail. Tidak halal
bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
dhalim". (Al-Baqarah : 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari'at Allah. Dan
dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduany sanggup menegakkan
batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah
lanjutan ayat di atas :
"Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang
kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk
kawin kembali, jiak keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, diternagkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui
". (Al-Baqarah : 230).
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri
melaksanakan syari'at Islam dalam rumah tangganya. Hukum
ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari'at ISLAM adalah WAJIB.
Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah
tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria
tentang calon pasangan yang ideal :
a. Harus Kafa'ah.
b. Shalihah.
a. Kafa'ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit
zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam
mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan
keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja.
Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah
Kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa'ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam
perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan
antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina
rumah tangga yang Islami insya Allah akan terwujud. Tetapi kafa'ah
menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta
ahlaq seseorang, status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah
memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab,
miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat
taqwanya (Al-Hujurat : 13).
"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah
orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Al-Hujurat : 13).
Dan mereka tetap sekufu' dan tidak ada halangan bagi mereka untuk
menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan
pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahanakan adat
istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur'an dan
Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka
hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak
demikian, niscaya kamu akan celaka". (Hadits Shahi Riwayat Bukhari
6:123, Muslim 4:175).
b. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihan dan wanita
harus memilih laki-laki yang shalih. Menurut Al-Qur'an wanita yang
shalihah ialah :
"Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta'at kepada Allah lagi
memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara
(mereka)". (An-Nisaa : 34).
Menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita
yang shalihah ialah :
"Ta'at kepada Allah, Ta'at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup
seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti
wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang
bukan mahram, Ta'at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta'at
kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya".
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan
terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar
dapat melahirkan generasi penerus umat.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah.
Menurut konsep Islam, hidup sepenunya untuk beribadah kepada Allah dan
berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah
tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di
samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai
menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah
!. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya :
"Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya
terhadap istrinya akan mendapat pahala ?" Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menjawab : "Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami)
bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? "Jawab
para shahabat :"Ya, benar". Beliau bersabda lagi : "Begitu pula kalau
mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan
memperoleh pahala !". (Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-
168 dan Nasa'i dengan sanad yang Shahih).
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih.
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan
mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
"Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami
istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucucucu,
dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?". (An-Nahl :
72).
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar
memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang
berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan
pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak
"Lembaga Pendidikan Islam", tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga
banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami,
diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri
bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya
ke jalan yang benar.
Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa
pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan
tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek
kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar
dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.
TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan
berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan
pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan
dan jelaskan seperlunya :
1. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia
meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang di pinang oleh
orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita
yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq 'alaihi). Dalam khitbah
disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat
Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi
:
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih
dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
3. Walimah
Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin
dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang
kaya saja berarti makanan itu sejelk-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang
hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan oranorang
miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan
walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". (Hadits Shahih
Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih,
baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam :
"Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin
dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa".
(Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38
dari Abu Sa'id Al-Khudri).
SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN
YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN.
1. PACARAN
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya
"Berpacaran" terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa
perkenalan individu, atau masa penjajakan atau di anggap sebagai
perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.
Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama
antar berbagai pihak untuk menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu
yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan
yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa
dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi
pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas
semuanya haram hukumnya menurut syari'at Islam.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang
perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya". (Hadits
Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran
hukumnya haram.
2. Tukar Cincin.
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini
bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, nashiruddin Al-Bani)
3. Menuntut Mahar Yang Tinggi.
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak
mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam
menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang
tinggi.
Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang
membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu
sangat lemah. (Lihat Irwa'ul Ghalil 6, hal. 347-348).
4.Mengikuti Upacara Adat.
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara,
upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib
untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu
meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah
mereka matikan dan padamkan.
Sungguh sangat ironis...!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat
istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin
kepada Islam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin ?". (Al-Maaidah : 50).
Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam,
maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka
akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta'ala :
"Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang rugi". (Ali-Imran : 85).
5. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah.
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa' Wal Banin, ketika
mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa' Wal Banin
(=semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.
Dari Al-Hasan, bahwa 'Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari
Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa'
Wal Banin. 'Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata :
"Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu 'alaihi
wa sallam melarang ucapan demikian". Para tamu bertanya :"Lalu apa yang
harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?". 'Aqil menjelaskan :
"Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka 'Alaiykum" (= Mudah-mudahan
Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian
keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam". (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah,
Darimi 2:134, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain).
Do'a yang biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ucapkan kepada
seorang mempelai ialah :
"Baarakallahu laka wa baarakaa 'alaiyka wa jama'a baiynakumaa fii khoir"
Do'a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
'Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan
do'a : (Baarakallahu laka wabaraka 'alaiyka wa jama'a baiynakuma fii
khoir) = Mudah-mudahan Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan
Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia
mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan". (Hadits Shahih Riwayat
Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi
7:148).
6. Adanya Ikhtilath.
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang
memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita.
Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah,
sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.
7. Pelanggaran Lain.
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah
musik yang hingar bingar.
KHATIMAH
Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang
diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah
(kasih sayang), Allah berfirman :
"Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram
bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan di antaramu (suami, istri)
rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir". (Ar-Ruum : 21).
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling
memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan
kewajibannya serta memahami tugas dan fungsiya masing-masing yang
harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang
mendapat keridla'an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi
manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara
ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang
pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak
dilanda "kemelut" perselisihan dan percekcokan.
Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam
Al-Qur'an surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam
memberikan jalan terakhir, yaitu "perceraian".
Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan
membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan,
tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam.
Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridhai oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala(Ali-Imran : 19).
"Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan
keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi
orang-orang yang bertaqwa". (Al-Furqan : 740.
Amiin.
Wallahu a'alam bish shawab.
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/144
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/149
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/166
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/169

Read More......